Sabtu, 14 Juni 2014
Mengangkat Tangan Berdoa Sesudah Sholat
Mengangkat Tangan Berdo Sesudah Sholat
Diriwayatkan :
عَنْ عَبْدِ اللَِّه بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَُّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلَا قَوْلَ اللَِّه عَزَّ وَجَلَّ فِي إِبْرَاهِيمَ
{ رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنْ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي }
الْآيَةَ وَقَالَ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَام
{ إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ }
فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَقَالَ اللَّهُمَّ أُمَّتِي أُمَّتِي وَبَكَى فَقَالَ اللَُّه عَزَّ وَجَلَّ يَا جِبْرِيلُ اذْهَبْ إِلَى
مُحَمَّدٍ وَرَبُّكَ أَعْلَمُ فَسَلْهُ مَا يُبْكِيكَ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَسَأَلَهُ فَأَخْبَرَهُ
رَسُولُ اللَِّه صَلَّى اللَُّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا قَالَ وَهُوَ أَعْلَمُ فَقَالَ اللَُّه يَا جِبْرِيلُ اذْهَبْ
إِلَى مُحَمَّدٍ فَقُلْ إِنَّا سَنُرْضِيكَ فِي أُمَّتِكَ وَلَا نَسُوءُكَ
Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash ra, sungguh ketika Nabi saw membaca firman Allah swt mengenai Ibrahim as yang berdoa : “Wahai Tuhan, sungguh mereka telah menyesatkan banyak orang, maka barangsiapa yang mengikutiku maka ia termasuk golonganku”(QS. Ibrahim : 36), dan berkata Isa as : “Jika Kau menyiksa mereka sungguh mereka hamba- Mu, jika Engkau Mengampuni mereka sungguh Engkau Maha Perkasa dan Maha Menghakimi” (QS Al Maidah 118),
maka Rasul saw mengangkat kedua tangannya seraya menyeru : Wahai Allah Ummatku..ummatku… seraya menangis. Maka Allah
berkata kepada Jibril pergilah pada Muhammad dan Sungguh Tuhanmu Maha Tahu,
katakana apa yang membuatmu menangis?, maka Jibril as berkata pada Rasul saw : Apa yang membuatmu menangis?, maka Rasul saw mengabarkan padanya, maka berkata
Allah swt pada Jibril : Wahai Jibril, pergilah pada Muhammad, katakan padanya Kami akan membuatmu puas pada ummatmu, dan kami tak akan mengecewakanmu” (Shahih Muslim hadits No.301 Bab Al Iman pasal : Du’a Nabi li ummatih).
Berkata Imam Nawawi mensyarahkan hadits ini : “Hadits ini mengandung banyak makna, diantaranya adalah disunnahkannya mengangkat kedua tangan saat berdoa” (Syarah Nawawi ala Shahih Muslim Bab Iman)
Jumat, 13 Juni 2014
Melafadzkan Niat
MELAFADZKAN NIAT MENURUT MADZHAB SYAFI’IYAH
Dengan membaca artikel ini saya benar – benar yakin bahwa orang orang itu tidak mengertifiqih sama sekali, Bukankah niat adalah rukun shalat yang pertama..?, dan rupanya merekaini masih belum mengerti rukun shalat yang pertama, sibuk membahas ucapan para imam
kesana - kemari, padahal itu sudah dibahas di kitab tuntunan shalat untuk anak SD.
Anak kecil pun tahu bahwa LAFADZ niat bukan wajib hukumnya, dan tidak ada madzhab manapun yang mengatakan lafadz niat itu wajib, cuma karena penulis artikel ini tidak faham fiqih atau karena ingin membodohi ummat maka ia menyebut hal ini, membuat bingung.
Seakan akan ada orang bicara pada anda : meniup balon selepas shalat adalah bukan hal yang wajib, demikian Jumhur 4 Imam Madzhab, dan yang mengatakan bahwa meniup balon selepas shalat adalah merupakan hal yang wajib maka itu merupakan fatwa sesat yang bertentangan dengan fatwa 4 Imam madzhab, dia telah melanggar aturan Syariah.
Sebagaimana Firman Allah swt dalam ayat anu, surat anu, dan juga telah berfatwa Imam Anu bahwa hal – hal yang…dst…dst....
Apa maksudnya pembahasan mereka ini..?,
Tak pernah ada yang mengatakan lafadz niat shalat itu wajib.., cuma mereka saja ngada ada sendiri..lalu mencaci maki muslimin tanpa sebab yang jelas..
Masalah lafadh niat itu adalah demi Ta’kid saja, (penguat dari apa yang diniatkan), itu saja, mudah bukan?, berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa – apa yang diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278).
Demikian pula dijelaskan pada Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.
Tak adapula yang mengeraskan suara dalam lafadh niat shalatnya, mengeraskan suara hingga mengganggu khusyu orang lain itu adalah berteriak dalam melafadhkanya, tentunya tak pernah ada ustadz manapun yang mengajarkan lafadh niat itu harus teriak, tak ada pula yang
melarang lafadh niat dengan suara pelahan demi menguatkan niat, kecuali wahabi dan orang
– orang yang dangkal pemahamannya dalam ilmu fiqih.
Sabda Rasulullah saw : “Allah tak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hamba – hamba Nya, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama, hingga
tak lagi tersisa ulama pada suatu kaum, maka mereka mengambil guru dari orang – orang jahil, lalu mereka (guru – guru jahil itu) ditanya (pelbagai masalah), maka mereka berfatwa tanpa ilmu, maka mereka itu sesat, dan menyesatkan” (Shahih Bukhari)
Dan dengan pintarnya mereka berkata : “Imam Syafii Radhiyallahu ‘anhu”, namun mereka sendiri banyak menentang Syafii dan sama sekali tak mengikutinya, bibir mereka berucap hanya untuk pemanis debat, bukan untuk ucapan Alhaqq dan Kesucian
Mengirim Pahala dan Bacaan Kepada Mayit
MENGIRIM PAHALA DAN BACAAN KEPADA MAYIT
1.Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan
من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين
وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب
باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه
وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان
الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه
أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان
شاء الله تعالى وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال
بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع
العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر
أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن
أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن
محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال
الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام
.وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل
Berkata Imam Nawawi : “Barangsiapa yang ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa – apa yang diceritakan
pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yang hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yang mengingkari nash – nash dari Alqur’an dan
Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan. Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yang wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yang diizinkan oleh walinya,
maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yang lebih masyhur hal ini tak sampai, namun pendapat kedua yang lebih shahih mengatakan hal itu sampai, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala
.
Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari sahabat sahabat Syafii yang mengatakannya sampai, dan sebagian besar ulama mengambil pendapat bahwa
sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yang lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab :
“Barangsiapa yang wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang
wanita yang wafat ibunya yang masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit,
Telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruundari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya
dari madzhab syafii) yang muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar
ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam
Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yang tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan
sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist - hadits shahih) bahwa itu semua sampaidengan pendapat yang sepakat para ulama. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal90)
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat,dan yang lebih masyhur adalah yang mengatakan tak sampai, namun yang lebih shahih mengatakannya sampai, tentunya kita mesti memilih yang lebih shahih, bukan yang lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yang shahih adalah yang mengatakan
sampai, walaupun yang masyhur mengatakan tak sampai, berarti yang masyhur itu dhoif, dan yang shahih adalah yang mengatakan sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan pula bahwa sebagian besar ulama mengatakan semua amal apahal sampai.
Inilah liciknya orang – orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambal”, mereka menggunting – gunting ucapan para Imam lalu ditampilkan di web – web, inilah bukti
kelicikan mereka, Saya akan buktikan kelicikan mereka:
Lalu berkata pula Imam Nawawi :
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول
الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا
اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في لصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح
جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه، والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال
جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل
“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa – doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash – nash yang teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim,
Demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yang sunnah, demikian pendapat yang lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yang lebih benar adalah yang membolehkannya sebagaimana
hadits – hadits shahih yang menjelaskannya, dan yang masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin
Hanbal berpegang pada yang membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 7 hal 90).
Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث
مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر، وروي عنه أنه قال القراءة ثم
القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن
نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له
محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه
أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد
بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ
“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat Alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu
katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal ituadalah ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu
Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya),
maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakan pada
orang yang tadi ku larang membaca Alqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225)
Dan dikatakan dalam Syarh Al Kanz :
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو
قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت، وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور
من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن
حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار
وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار
الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما
ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى
لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي
القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة
“dijelaskan pada syarah Al Kanz, Sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan
Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
Namun hal yang terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin Hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya
sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
Dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yang masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
Dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yang lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal, dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yang hidup,
keluarga dekat atau yang jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yang sangat banyak”.
(Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil Imam
Nawawiy Juz 15 hal 522).
Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yang mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yang mengatakan bahwa pengiriman
bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi
.
Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa – apa yang kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan
seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yang mengingkarinya dan tak adapula yang mengatakannya tak sampai.
Kita ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa Imam Bukhari, saya mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari. Bila saya berbicara fatwa Imam Nawawi,
saya mempunyai sanad guru kepada Imam Nawawi, bila saya berbicara fatwa Imam Syafii, maka saya mempunyai sanad Guru kepada Imam Syafii.
Demikianlah kita ahlussunnah waljamaah, kita tidak bersanad kepada buku, kita mempunyai sanad guru, boleh saja dibantu oleh buku – buku, namun acuan utama adalah pada guru yang
mempunyai sanad.
Kasihan mereka mereka yang keluar dari ahlussunnah waljamaah karena berimamkan buku, agama mereka sebatas buku – buku, iman mereka tergantung buku, dan akidah mereka adalah pada buku – buku.
Jauh berbeda dengan ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam Nawawi, Imam Nawawi bertawassul pada Nabi saw, Imam Nawawi mengagungkan Rasul saw, beliau membuat shalawat yg dipenuhi salam pada Nabi Muhammad saw, ia memperbolehkan tabarruk dan ziarah kubur, demikianlah para ulama ahlussunnah waljamaah
.
Sabda Rasulullah saw : “Sungguh sebesar - besar kejahatan muslimin pada musliminlainnya, adalah yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan atas muslimin, menjadidiharamkan atas mereka karena pertanyaannya” (Shahih Muslim hadits No.2358, dan
juga teriwayatkan pada Shahih Bukhari).
Yasinan Malam Jum'at
YASINAN MALAM JUM’AT HADITSNYA PALSU
Mengenai mereka itu sungguh berada dalam kemungkaran yang nyata, siapapula yang mengeluarkan larangan membaca Alqur’an di malam jum’at..?, boleh Yaasiin atau boleh apapun dari ayat Alqur’an,
Mereka mengatakan tak boleh ada dalil pengkhususan suatu ibadah disuatu hari atau waktu, darimana hukum ini muncul..?, hanya ada pada orang bodoh yang tak mengerti hadits, mereka itu tak tahu hadits, hanya tahu menukil - nukil lalu mengatakan sesat pada orang lain.
Berikut riwayat shahih mengenai diperbolehkannya mengada – adakan suatu amal tanpa diperintah oleh Rasul saw :
Diwayatkan bahwa Imam Masjid Quba menambahi bacaan surat Al Ikhlas setelah fatihah, ia selalu selesai fatihah ia membaca surat Al Ikhlas dulu, baru surat lainnya, maka ia telah menyamakan Fatihah dengan surat Al Ikhlas, ia membuat surat Al Ikhlas mesti ada padasetiap rakaatnya.
bukankah hal ini tidak pernah diajarkan oleh Rasul saw..?
Maka makmumnya protes, dan ia tetap bersikeras, maka ia dilaporkan pada Rasul saw, maka Rasul saw memanggilnya, dan menanyakan apa sebab perbuatannya itu..? Maka Imam Masjid Quba itu berkata : aku mencintai surat Al Ikhlas, maka aku tak mau melepasnya pada setiap rakaat.
Maka Rasul saw menjawab : Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk sorga! (Shahih Bukhari Bab Adzan).
Berkata Hujjatul islam Al Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy dalam kitabnya Fathul Baari Bisyarah
Shahih Bukhari mensyarahkan makna hadits ini beliau berkata :
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْقُرْآنِ بِمَيْلِ النَّفْسِ إِلَيْهِ وَالِاسْتِكْثَارِ مِنْهُ وَلَا يُعَدُّ ذَلِكَ هِجْرَانًا
لِغَيرِْهِ
“pada riwayat ini menjadi dalil diperbolehkannya mengkhususkan sebagian surat Alqur’an dengan keinginan diri padanya, dan memperbanyaknya dengan kemauan
sendiri, dan tidak bisa dikatakan bahwa perbuatan itu telah mengucilkan surat lainnya”(Fathul Baari Bisyarah Shahih Bukhari Juz 3 hal 150 Bab Adzan).
Jelaslah sudah kebodohan mereka akan ilmu hadits, bahwa Rasul saw tak pernah melarang seseorang mengkhususkan Alqur’an atau lainnya dari beragam ibadah untuk dibaca disuatu waktu atau tempat, bahkan jika hal itu karena cintanya pada ibadah itu maka itu akan membuatnya masuk sorga, demikian kabar gembira dari Rasulullah saw. Wallahu a’lam
Tabarruk
TABARRUK (mengambil keberkahan dari bekas atau tubuh shalihin)
Banyak orang yang keliru memahami makna hakikat tabarruk dengan Nabi Muhammad saw,
peninggalan-peninggalannya saw, Ahlulbaitnya saw dan para pewarisnya yakni para ulama,
para kyai dan para wali. Karena hakekat yang belum mereka pahami, mereka berani menilai
kafir (sesat) atau musyrik terhadap mereka yang bertabarruk pada Nabi saw atau ulama.
kenalilah akidahmu 2 71
Mengenai azimat (Ruqyyat) dengan huruf arab merupakan hal yang diperbolehkan, selama
itu tidak menduakan Allah swt. Sebagaimana dijelaskan bahwa azimat dengan tulisan ayat
atau doa disebutkan pada kitab Faidhulqadir Juz 3 hal 192, dan Tafsir Imam Qurtubi Juz 10
hal.316/317, dan masih banyak lagi penjelasan para Muhadditsin mengenai diperbolehkannya
hal tersebut, karena itu semata mata adalah bertabarruk (mengambil berkah) dari ayat - ayat
Alqur’an.
Mengenai benda-benda keramat, maka ini perlu penjelasan yang sejelas - jelasnya, bahwa
benda - benda keramat itu tak bisa membawa manfaat atau mudharrat, namun mungkin saja
digunakan Tabarrukan (mengambil berkah) dari pemiliknya dahulu, misalnya ia seorang
yang shalih, maka sebagaimana diriwayatkan :
• Para sahabat seakan akan hampir saling bunuh saat berdesakan berebutan air bekas
wudhunya Rasulullah saw (Shahih Bukhari Hadits No. 186),
• Allah swt menjelaskan bahwa ketika Ya’qub as dalam keadaan buta, lalu dilemparkanlah
ke wajahnya pakaian Yusuf as, maka ia pun melihat, sebagaimana Allah menceritakannya
dalam firman Nya SWT : “(berkata Yusuf as pada kakak kakaknya) PERGILAH KALIAN
DENGAN BAJUKU INI, LALU LEMPARKAN KEWAJAH AYAHKU, MAKA IA AKAN
SEMBUH DARI BUTANYA” (QS. Yusuf : 93), dan pula ayat : “MAKA KETIKA DATANG
PADANYA KABAR GEMBIRA ITU, DAN DILEMPARKAN PADA WAJAHNYA (pakaian
Yusuf as) MAKA IA (Ya’qub as) SEMBUH DARI KEBUTAANNYA” (QS. Yusuf : 96). Ini
merupakan dalil Alqur’an, bahwa benda atau pakaian orang - orang shalih dapat menjadi
perantara kesembuhan dengan izin Allah tentunya, kita bertanya mengapa Allah sebutkan
ayat sedemikian jelasnya?, apa perlunya menyebutkan sorban yusuf dengan ucapannya :
PERGILAH KALIAN DENGAN BAJUKU INI, LALU LEMPARKAN KEWAJAH AYAHKU,
MAKA IA AKAN SEMBUH DARI BUTANYA”. Untuk apa disebutkan masalah baju yang
dilemparkan ke wajah ayahnya?, agar kita memahami bahwa Allah SWT memuliakan benda
benda yang pernah bersentuhan dengan tubuh hamba - hambaNya yang shalih. kita akan lihat
dalil - dalil lainnya.
• Setelah Rasul saw wafat maka Asma binti Abubakar Asshiddiq ra menjadikan baju beliau
saw sebagai pengobatan, bila ada yang sakit maka ia mencelupkan baju Rasul saw itu di air
lalu air itu diminumkan pada yang sakit (Shahih Muslim hadits No.2069).
• Rasul saw sendiri menjadikan air liur orang mukmin sebagai berkah untuk pengobatan,
sebagaimana sabda beliau : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian
dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin Tuhan kami” (Shahih Bukhari hadits
No.5413), ucapan beliau saw : “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa
air liur orang mukmin dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya.
Sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya,
hadits ini menjelaskan bahwa Rasul saw bertabarruk dengan air liur mukminin bahkan tanah
bumi, menunjukkan bahwa pada hakikatnya seluruh ala mini membawa keberkahan dari
Allah swt.
• Seorang sahabat meminta Rasul saw shalat di rumahnya agar kemudian ia akan menjadikan
bekas tempat shalat beliau saw itu mushollah di rumahnya, maka Rasul saw datang ke rumah
orang itu dan bertanya : “dimana tempat yang kau inginkan aku shalat?”. Demikian para
sahabat bertabarruk dengan bekas tempat shalatnya Rasul saw hingga dijadikan musholla
(Shahih Bukhari hadits No.1130)
• Nabi Musa as ketika akan wafat ia meminta di dekatkan ke wilayah suci di Palestina,
menunjukkan bahwa Musa as ingin di makamkan dengan mengambil berkah pada tempat
suci (Shahih Bukhari hadits No.1274).
• Allah memuji Nabi saw dan Umar bin Khattab ra yang menjadikan Maqam Ibrahim
as (bukan makamnya, tetapi tempat ibrahim as berdiri dan berdoa di depan ka’bah yang
dinamakan Maqam Ibrahim as) sebagai tempat shalat (musholla), sebagaimana firmanNya
: “Dan mereka menjadikan tempat berdoanya Ibrahim sebagai tempat shalat” (QS. Al
Imran : 97), maka jelaslah bahwa Allah swt memuliakan tempat hamba - hambaNya berdoa,
bahkan Rasul saw pun bertabarruk dengan tempat berdoanya Ibrahim as, dan Allah memuji
perbuatan itu.
• Diriwayatkan ketika Rasul saw baru saja mendapat hadiah selendang pakaian bagus dari
seorang wanita tua, lalu datang pula orang lain yang segera memintanya selagi pakaian itu
dipakai oleh Rasul saw, maka riuhlah para sahabat lainnya menegur si peminta, maka sahabat
itu berkata : “aku memintanya karena mengharapkan keberkahannya ketika dipakai oleh
Nabi saw dan kuinginkan untuk kafanku nanti” (Shahih Bukhari hadits No.5689), demikian
cintanya para sahabat pada Nabinya saw, sampai kain kafan pun mereka ingin yang bekas
sentuhan tubuh Nabi Muhammad saw.
• Sayyidina Umar bin Khattab ra ketika ia telah di hadapan sakratulmaut, yaitu sebuah
serangan pedang yang merobek perutnya dengan luka yang sangat lebar, beliau tersungkur
roboh dan mulai tersengal - sengal beliau berkata kepada putranya (Abdullah bin Umar ra),
“Pergilah pada ummulmukminin, katakan padanya aku berkirim salam hormat padanya,
dan kalau diperbolehkan aku ingin di makamkan dis ebelah Makam Rasul saw dan Abubakar
ra”, maka ketika Ummulmukminin telah mengizinkannya maka berkatalah Umar ra : “Tidak
ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu” (di makamkan
di samping makam Rasul saw), (Shahih Bukhari hadits No.1328). Dihadapan Umar bin
Khattab ra, kuburan Nabi saw mempunyai arti yang sangat Agung, hingga kuburannya pun
ingin di sebelah kuburan Nabi saw, bahkan ia berkata : “Tidak ada yang lebih kupentingkan
daripada mendapat tempat di pembaringan itu”.
• Demikian pula Abubakar Asshiddiq ra, yang saat Rasul saw wafat maka ia membuka kain
penutup wajah Nabi saw lalu memeluknya dengan derai tangis seraya menciumi tubuh beliau
saw dan berkata : “Demi ayahku, dan engkau dan ibuku wahai Rasulullah.., Tiada akan
Allah jadikan dua kematian atasmu, maka kematian yang telah dituliskan Allah untukmu kini
telah kau lewati”. (Shahih Bukhari hadits No.1184, 4187).
• Salim bin Abdullah ra melakukan shalat sunnah di pinggir sebuah jalan, maka ketika
ditanya ia berkata bahwa ayahku shalat sunnah di tempat ini, dan berkata ayahku bahwa
Rasulullah saw shalat di tempat ini, dan dikatakan bahwa Ibn Umar ra pun melakukannya.
(Shahih Bukhari hadits No.469). Demikianlah keadaan para sahabat Rasul saw, bagi mereka
tempat-tempat yang pernah disentuh oleh Tubuh Muhammad saw tetap mulia walau telah
diinjak ribuan kaki, mereka mencari keberkahan dengan shalat pula ditempat itu, demikian
pengagungan mereka terhadap Sang Nabi saw.
• Dalam riwayat lainnnya dikatakan kepada Abu Muslim, wahai Abu Muslim, kulihat engkau
selalu memaksakan shalat ditempat itu?, maka Abu Muslim ra berkata : Kulihat Rasul saw
shalat ditempat ini” (Shahih Bukhari hadits No.480).
• Sebagaimana riwayat Sa’ib ra, : “aku diajak oleh bibiku kepada Rasul saw, seraya
berkata : Wahai Rasulullah.., keponakanku sakit.., maka Rasul saw mengusap kepalaku dan
mendoakan keberkahan padaku, lalu beliau berwudhu, lalu aku meminum air dari bekas
wudhu beliau saw, lalu aku berdiri di belakang beliau dan kulihat Tanda Kenabian beliau
saw” (Shahih Muslim hadits No.2345).
• Riwayat lain ketika dikatakan pada Ubaidah ra bahwa kami memiliki rambut Rasul saw,
maka ia berkata: “Kalau aku memiliki sehelai rambut beliau saw, maka itu lebih berharga
bagiku dari dunia dan segala isinya” (Shahih Bukhari hadits No.168). Demikianlah mulianya
sehelai rambut Nabi saw di mata sahabat, lebih agung dari dunia dan segala isinya.
• Diriwayatkan oleh Abi Jahiifah dari ayahnya, bahwa para sahabat berebutan air bekas
wudhu Rasul saw dan mengusap - usapkannya ke wajah dan kedua tangan mereka, dan
mereka yang tak mendapatkannya maka mereka mengusap dari basahan tubuh sahabat
lainnya yang sudah terkena bekas air wudhu Rasul saw lalu mengusapkan ke wajah dan
tangan mereka” (Shahih Bukhari hadits No.369, demikian juga pada Shahih Bukhari hadits
No.5521, dan pada Shahih Muslim hadits No.503 dengan riwayat yang banyak).
• Diriwayatkan ketika Anas bin malik ra dalam detik detik sakratulmaut ia yang memang
telah menyimpan sebuah botol berisi keringat Rasul saw dan beberapa helai rambut Rasul
saw, maka ketika ia hampir wafat ia berwasiat agar botol itu disertakan bersamanya dalam
kafan dan hanutnya (Shahih Bukhari hadits No.5925)
Tampaknya kalau mereka ini hidup di zaman sekarang, tentulah para sahabat ini sudah
dikatakan musyrik, tentu Abubakar sudah dikatakan musyrik karena menangisi dan memeluk
tubuh Rasul saw dan berbicara pada jenazah beliau saw.
Tentunya Umar bin Khattab sudah dikatakan musyrik karena di sakratulmaut bukan ingat
Allah malah ingat kuburan Nabi saw.
Tentunya para sahabat sudah dikatakan musyrik dan halal darahnya, karena mengkultuskan
Nabi Muhammad saw dan menganggapnya tuhan sembahan hingga berebutan air bekas
wudhunya, mirip dengan kaum nasrani yang berebutan air pastor!
Nah.. kita boleh menimbang diri kita, apakah kita sejalan dengan sahabat atau kita sejalan
dengan generasi dengan pemahaman yang salah.
Wahai saudaraku, jangan alergi dengan kalimat syirik, syirik itu adalah bagi orang yang
berkeyakinan ada Tuhan Lain selain Allah, atau ada yang lebih kuat dari Allah, atau meyakini
ada Tuhan yang sama dengan Allah swt. Inilah makna syirik.
Sebagaimana sabda Nabi saw : “Kebekahan adalah pada urang orang tua dan ulama kalian”
(Shahih Ibn Hibban hadits No.559)
Dikatakan oleh Al hafidh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy menanggapi hadits
yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasul saw membaca mu’awwidzatain lalu
kenalilah akidahmu 2 75
meniupkannya ke kedua telapak tangannya, lalu mengusapkannya ke sekujur tubuh yang
dapat disentuhnya, hal itu adalah tabarruk dengan nafas dan air liur yang telah dilewati
bacaan Alqur’an, sebagaimana tulisan dzikir - dzikir yang ditulis di bejana (untuk obat). (Al
Jami’usshaghiir Imam Assuyuthiy Juz 1 hal 84 hadits No.104)
Telah dibuktikan pula secara ilmiah oleh salah seorang Profesor Jepang (Dr. Masaru Emoto),
bahwa air itu berubah wujud bentuknya dengan hanya diucapkan padanya kalimat - kalimat
tertentu, bila ucapan itu berupa cinta, terimakasih dan ucapan - ucapan indah lainnya maka
air itu berubah wujudnya menjadi semakin indah, bila diperdengarkan ucapan cacian dan
buruk maka air itu berubah menjadi buruk wujud bentuknya, dan bila dituliskan padanya
tulisan mulia dan indah seperti terimakasih, syair cinta dan tulisan indah lainnya maka ia
menjadi semakin indah wujudnya, bila dituliskan padanya ucapan caci maki dan ucapan
buruk lainnya maka ia berubah buruk wujudnya. Kesimpulannya bahwa air itu berubah
dengan perubahan emosi orang yang didekatnya, apakah berupa tulisan dan perkataan.
Keajaiban alamiah yang baru diketahui masa kini, sedangkan Rasul saw dan para sahabat
telah memahaminya, mereka bertabarruk dengan air yang menyentuh tubuh Rasul saw,
mereka bertabarruk dengan air doa yang didoakan oleh Rasul saw, maka hanya mereka
mereka kaum muslimin yang rendah pemahamannya dalam syariah inilah yang masih terus
menentangnya padahal telah dibuktikan secara ilmiah, menunjukkan pemahaman mereka
itulah yang jumud dan terbelakang.
Walillahittaufiq
Istighatsah
ISTIGHATSAH
Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk
sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka itu
hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap Syariah Islam. Pada hakekatnya
memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan
selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah
swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat, karena bila seseorang mengatakan
ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru
dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal
dari Allah swt. Maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan
mudharrat kecuali dengan izin Allah swt, ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak
bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah
jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian
adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan
Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian.
Sama saja ketika seorang berkata bahwa hanya dokterlah yang bisa menyembuhkan dan tak
mungkin kesembuhan datang dari selain dokter, maka ia telah membatasi Kodrat Allah swt
untuk memberikan kesembuhan, yang bisa saja lewat dokter, namun tak mustahil dari petani,
atau bahkan sembuh dengan sendirinya.
Terkadang kita tak menyadari bahwa kita lebih banyak mengambil manfaat dalam kehidupan
ini dari mereka yang telah mati daripada yang masih hidup, sungguh peradaban manusia,
tuntunan ibadah, tuntunan kehidupan, modernisasi dan lain sebagainya. Kesemua para
pelopornya telah wafat, dan kita masih terus mengambil manfaat dari mereka, muslim dan
non muslim, seperti teori Einstein dan teori – teori lainnya, kita masih mengambil manfaat
dari yang mati hingga kini, dari ilmu mereka, dari kekuatan mereka, dari jabatan mereka, dari
perjuangan mereka, Cuma bedanya kalau mereka ini kita ambil manfaatnya berupa ilmunya,
namun para shalihin, para wali dan muqarrabin kita mengambil manfaat dari imannya dan
amal shalihnya, dan ketaatannya kepada Allah.
Rasul saw memperbolehkan Istighatsah, sebagaimana hadits beliau saw : “Sungguh matahari
mendekat di hari kiamat hingga keringat sampai setengah telinga, dan sementara mereka
dalam keadaan itu mereka ber-istighatsah (memanggil nama untuk minta tolong) kepada
Adam, lalu mereka ber-istighatsah kepada Musa, Isa, dan kesemuanya tak mampu
berbuat apa - apa, lalu mereka ber-istighatsah kepada Muhammad saw” (Shahih Bukhari
hadits No.1405), juga banyak terdapat hadits serupa pada Shahih Muslim hadits No.194,
Shahih Bukhari hadits No.3162, 3182, 4435, dan banyak lagi hadist - hadits shahih yang
Rasul saw menunjukkan ummat manusia ber-istighatsah pada para Nabi dan Rasul. Bahkan
riwayat Shahih Bukhari dijelaskan bahwa mereka berkata pada Adam, Wahai Adam, sungguh
engkau adalah ayah dari semua manusia.. dst.. dst...dan Adam as berkata : “Diriku..diriku..,
pergilah pada selainku.., hingga akhirnya mereka ber-istighatsah memanggil – manggil
Muhammad saw, dan Nabi saw sendiri yang menceritakan ini, dan menunjukkan beliau tak
mengharamkan istighatsah.
Maka hadits ini jelas – jelas merupakan rujukan bagi istighatsah, bahwa Rasul saw menceritakan
orang – orang ber-istighatsah kepada manusia, dan Rasul saw tak mengatakannya syirik,
namun jelaslah istighatsah di hari kiamat ternyata hanya untuk Sayyidina Muhammad saw.
Demikian pula diriwayatkan bahwa dihadapan Ibn Abbas ra ada seorang yang keram kakinya,
lalu berkata Ibn Abbas ra : “Sebut nama orang yg paling kau cintai..!”, maka berkata orang
itu dengan suara keras.. : “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah sakit keramnya
(diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam Tabrani dengan
sanad hasan) dan riwayat ini pun diriwayatkan oleh Imam Nawawi pada Al Adzkar.
Jelaslah sudah bahwa riwayat ini justru bukan mengatakan musyrik pada orang yang
memanggil nama seseorang saat dalam keadaan tersulitkan, justru Ibn Abbas ra yang
mengajari hal ini.
Kita bisa melihat kejadian Tsunami di Aceh beberapa tahun yang silam, bagaimana air laut
yang setinggi 30 meter dengan kecepatan 300 km dan kekuatannya ratusan juta ton, mereka
tak menyentuh masjid tua dan makam makam shalihin, hingga mereka yang lari ke makam
shalihin selamat. Inilah bukti bahwa istighatsah dikehendaki oleh Allah swt, karena kalau
tidak lalu mengapa Allah jadikan di makam – makam shalihin itu terdapat benteng yang tak
terlihat membentengi air bah itu, yang itu sebagai isyarat Illahi bahwa demikianlah Allah
memuliakan tubuh yang taat pada-Nya swt, tubuh – tubuh tak bernyawa itu Allah jadikan
benteng untuk mereka yang hidup.., tubuh yang tak bernyawa itu Allah jadikan sumber
Rahmat dan Perlindungan-Nya swt kepada mereka mereka yang berlindung dan lari ke
makam mereka.
Kesimpulannya : mereka yang lari berlindung pada hamba – hamba Allah yang shalih
mereka selamat, mereka yang lari ke masjid – masjid tua yang bekas tempat sujudnya orang
– orang shalih maka mereka selamat, mereka yang lari dengan mobilnya tidak selamat,
mereka yang lari mencari tim SAR tidak selamat..
Pertanyaannya adalah : kenapa Allah jadikan makam sebagai perantara perlindungan-Nya
swt? kenapa bukan orang yang hidup? kenapa bukan gunung? kenapa bukan perumahan?.
Jawabannya bahwa Allah mengajari penduduk bumi ini beristighatsah pada shalihin.
Walillahittaufiq
Tawassul
TAWASSUL
Saudara - saudaraku masih banyak yang memohon penjelasan mengenai tawassul, wahai
saudaraku, Allah swt sudah memerintah kita melakukan tawassul. Tawassul adalah
mengambil perantara makhluk untuk doa kita pada Allah swt, Allah swt mengenalkan kita
pada Iman dan Islam dengan perantara makhluk-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw sebagai
perantara pertama kita kepada Allah swt, lalu perantara kedua adalah para sahabat, lalu
perantara ketiga adalah para tabi’in. Demikian berpuluh – puluh perantara sampai pada guru
kita, yang mengajarkan kita islam, shalat, puasa, zakat dll, barangkali perantara kita adalah
ayah ibu kita, namun diatas mereka ada perantara, demikian bersambung hingga Nabi saw,
sampailah kepada Allah swt.
Allah swt berfirman : “Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah atau patuhlah
kepada Allah swt dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah SWT
dan berjuanglah di jalan Allah swt, agar kamu mendapatkan keberuntungan” (QS.Al-
Maidah-35).
Berkata Imam Ibn katsir menafsirkan ayat ini :
والوسيلة: هي التي يتوصل بها إلى تحصيل المقصود، والوسيلة أيضًا: علم على أعلى منزلة في
الجنة، وهي منزلة رسول الله صلى الله عليه وسلم وداره في الجنة، وهي أقرب أمكنة الجنة إلى
العرش، وقد ثبت في صحيح البخاري، من طريق محمد بن المُنكَدِر، عن جابر بن عبد الله قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من قال حين يسمع النداء: اللهم رب هذه الدعوة التامة، والصلاة
القائمة، آت محمدًا الوسيلة والفضيلة، وابعثه مقامًا محمودا الذي وعدته، إلا حَلَّتْ له الشفاعة يوم
.”القيامة
حديث آخر في صحيح مسلم: من حديث كعب عن علقمة، عن عبد الرحمن بن جُبير، عن عبد الله
بن عمرو بن العاص أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول: “إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثل ما
يقول، ثم صلُّوا عَليّ، فإنه من صلى عَليّ صلاة صلى الله عليه بها عشرًا، ثم سلوا الله لي الوسيلة،
فإنها منزلة في الجنة، لا تنبغي إلا لعبد من عباد الله، وأرجو أن أكون أنا هو، فمن سأل لي الوسيلة
(حَلًّتْ عليه الشفاعة.” ) 1
حديث آخر: قال الإمام أحمد: حدثنا عبد الرزاق، أخبرنا سفيان، عن لَيْث، عن كعب، عن أبي هريرة؛
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إذا صليتم عَليّ فَسَلُوا لي الوسيلة”. قيل: يا رسول الله،
وما الوسيلة؟ قال: “أعْلَى درجة في الجنة، لا ينالها إلا رَجُلٌ واحد ) 2( وأرجو أن أكون أنا هو
Wasilah adalah sesuatu yang menjadi perantara untuk mendapatkan tujuan, dan merupakan
perantara pula ilmu tentang setinggi tinggi derajat, ia adalah derajat mulia Rasulullah saw
di Istana beliau saw di sorga. Dan itu adalah tempat terdekat di sorga ke Arsy, dan telah
dikuatkan pada Shahih Bukhari dari jalan riwayat Muhammad bin Al Munkadir, dari Jabir
bin Abdillah ra, sabda Rasulullah saw : Barangsiapa yang berdoa ketika mendengar seruan
(adzan) :Wahai Alla Tuhan Pemilik Dakwah ini Yang Maha Sempurna, dan shalat yang
didirikan, berilah Muhammad perantara dan anugerah, dan bangkitkanlah untuk beliau saw
derajat yang terpuji yang telah Kau Janjikan pada beliau saw, maka telah halal syafaat
dihari kiamat”.
Hadits lainnya pada Shahih Muslim, dari hadits Ka;ab dari Alqamah, dari Abdurrahman
bin Jubair, dari Abdullah bin Amr bin Al Ash, sungguh ia mendengar Nabi saw bersabda :
Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkan seperti ucapan mereka, lalu bershalawatlah
padaku, maka sungguh barangsiapa yang bershalawat padaku sekali maka Allah
melimpahkan shalawat padanya 10X, lalu mohonlah untukku wasiilah (perantara), maka
sungguh ia merupakan tempat di sorga, tiada diberikan pada siapapun kecuali satu dari
hamba Allah, dan aku berharap agar akulah yang menjadi orang itu, maka barangsiapa
yang memohonkan untukku perantara, halal untuknya syafaat.
Dan hadits lainnya berkata Imam Ahmad, diucapkan pada kami oleh Abdurrazzak,
dikabarkan pada kami dari sofyan, dari laits, dari Ka;ab, dari Abu Hurairah ra : Sungguh
Rasulullah saw bersabda : Jika kalian shalat maka mohonkan untukku wasiilah, mereka
bertanya : Wahai Rasulullah, (saw), wasiilah itu apakah?, Rasul saw bersabda : Derajat
tertinggi di sorga, tiada yang mendapatkannya kecuali satu orang, dan aku berharap akulah
orang itu. Selesai ucapan Imam ibn Katsir. (Tafsir Imam Ibn Katsir pada Al Maidah 35)
Ayat ini jelas menganjurkan kita untuk mengambil perantara antara kita dengan Allah, dan
Rasul saw adalah sebaik baik perantara, dan beliau saw sendiri bersabda : “Barangsiapa
yang mendengar adzan lalu menjawab dengan doa : “Wahai Allah Tuhan Pemilik Dakwah
yang sempurna ini, dan shalat yang dijalankan ini, berilah Muhammad (saw) hak menjadi
perantara dan limpahkan anugerah, dan bangkitkan untuknya Kedudukan yang terpuji
sebagaimana yang telah kau janjikan padanya”. Maka halal baginya syafaatku” (Shahih
Bukhari hadits No.589 dan hadits No.4442)
Hadits ini jelas bahwa Rasul saw menunjukkan bahwa beliau saw tak melarang tawassul pada
beliau saw, bahkan orang yang mendoakan hak tawassul untuk beliau saw sudah dijanjikan
syafaat beliau saw.
Tawassul ini boleh kepada amal shalih, misalnya doa : “Wahai Allah, demi amal
perbuatanku yang saat itu kabulkanlah doaku”, sebagaimana telah teriwayatkan dalam
Shahih Bukhari dalam hadits yang panjang menceritakan tiga orang yang terperangkap di
goa dan masing – masing bertawassul pada amal shalihnya, Allah swt membuka sepertiga
celah goa tempat mereka terperangkap berkat tawassul orang pertama pada amal shalihnya,
namun mereka belum bisa keluar dg celah itu, maka orang kedua bertawassul pada amal
shalih yg pernah diperbuatnya, maka celah terbuka 2/3 dan belum bisa membuat mereka
keluar dari goa, maka orang ketiga bertawassul pula pada amal baiknya, maka terbukalah
celah goa keseluruhannya.
Namun dari riwayat ini bisa difahami bahwa tawassul pada amal shalih sendiri tidak bisa
menyelamatkan dirinya, namun justru sebab dua orang lainnya maka mereka semua bisa
selamat..
Jelas sudah bertawassul pada orang lain lebih bisa menyelamatkan daripada tawassul pada
amal sendiri yang belum tentu diterima, namun tawassul pada orang shalih yang sudah
masyhur kebaikan dan banyaknya amal ibadahnya, akan lebih mudah dikabulkan Allah swt,
lebih lagi tawassul pada Rasulullah saw.
Dan boleh juga tawassul pada Nabi saw atau orang lainnya, sebagaimana yang diperbuat
oleh Umar bin Khattab ra, bahwa Umar bin Khattab ra pada riwayat Shahih Bukhari :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَُّه عَنْهُ
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا
نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Dari Anas bin Malik ra sungguh Umar bin Khattab ra ketika sedang musim kering ia
memohon turunnya hujan dengan perantara Abbas bin Abdulmuttalib ra, seraya berdoa :
“wahai Allah.., sungguh kami telah mengambil perantara (bertawassul) pada Mu dengan
Nabi kami (Muhammad saw) agar Kau turunkan hujan lalu Kau turunkan hujan, maka
kini kami mengambil perantara (bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas
bin Abdulmuttalib ra) yang melihat beliau Sang Nabi saw maka turunkanlah hujan”
maka hujanpun turun dengan derasnya. (Shahih Bukhari hadits No.954)
Berkata Hujjatul Islam Al imam Ibn Hajar Al Asqalaniy mensyarahkan hadits ini :
وَيُسْتَفَاد مِنْ قِصَّة الْعَبَّاس اِسْتِحْبَاب الِاسْتِشْفَاع بِأَهْلِ الْخَيْر وَالصَّلَاح وَأَهْل بَيْت النُّبُوَّة ، وَفِيهِ فَضْل
الْعَبَّاس وَفَضْل عُمَر لِتَوَاضُعِهِ لِلْعَبَّاسِ وَمَعْرِفَته بِحَقِّهِ
maka diambil faidah dari kejadian Abbas ra ini menjadi hal yang baik memohon syafaat
pada orang - orang yang baik dan shalih, dan keluarga Nabi saw, dan pada hadits ini pula
menyebutkan keutamaan Abbas ra dan keutamaan Umar ra karena rendah dirinya, dan
kefahamannya akan kemuliaan Abbas ra. (Fathul Baari Bisyarah Shahih Bukhari Bab Al
Jum’ah No.954)
Riwayat diatas menunjukkan bahwa :
1. Para sahabat besar bertawassul pada Nabi saw dan dikabulkan Allah swt.
2. Para sahabat besar bertawassul satu sama lain antara mereka dan dikabulkan Allah swt.
3. Para sahabat besar bertawassul pada keluarga Nabi saw (perhatikan ucapan Umar ra : “demi
paman Nabi” (saw). Kenapa beliau tak ucapkan namanya saja?, misalnya demi Abbas bin
Abdulmuttalib ra?, namun justru beliau tak mengucapkan nama, tapi mengucapkan sebutan
“Paman Nabi” dalam doanya kepada Allah, dan Allah mengabulkan doanya, menunjukkan
bahwa Tawassul pada keluarga Nabi saw adalah perbuatan Sahabat besar, dan dikabulkan
Allah.
Dan boleh tawassul pada benda, sebagaimana Rasulullah saw bertawassul pada tanah dan air
liur sebagian muslimin untuk kesembuhan, sebagaimana doa beliau saw ketika ada yang sakit
: “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah
yang sakit pada kami, dengan izin Tuhan kami” (Shahih Bukhari hadits No.5413, dan
Shahih Muslim hadits No.2194), ucapan beliau saw : “demi air liur sebagian dari kami”
menunjukkan bahwa beliau saw bertawassul dengan air liur mukminin yang dengan itu dapat
menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya, sebagaimana dokter pun dapat
menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya, juga beliau bertawassul pada tanah,
menunjukkan diperbolehkannya bertawassul pada benda mati atau apa saja karena semuanya
mengandung kemuliaan Allah swt, seluruh alam ini menyimpan kekuatan Allah dan seluruh
alam ini berasal dari cahaya Allah swt.
Riwayat lain ketika datangnya seorang buta pada Rasul saw, seraya mengadukan kebutaannya
dan minta didoakan agar sembuh, maka Rasul saw menyarankannya agar bersabar, namun
orang ini tetap meminta agar Rasul saw berdoa untuk kesembuhannya, maka Rasul saw
memerintahkannya untuk berwudhu, lalu shalat 2 rakaat, lalu Rasul saw mengajarkan doa ini
padanya, ucapkanlah : “Wahai Allah, Aku meminta kepada-Mu, dan Menghadap kepada
Mu, Demi Nabi-Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad,
Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku
ini, maka Kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku
untukku” (Shahih Ibn Khuzaimah hadits No.1219, Mustadrak ala Shahihain hadits No.1180
dan ia berkata hadits ini shahih dengan syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim).
Hadits diatas ini jelas – jelas Rasul saw mengajarkan orang buta ini agar berdoa dengan doa
tersebut, Rasul saw yang mengajarkan padanya, bukan orang buta itu yang membuat buat
doa ini, tapi Rasul saw yang mengajarkannya agar berdoa dengan doa itu, sebagaimana juga
Rasul saw mengajarkan ummatnya bershalawat padanya, bersalam padanya.
Lalu muncullah pendapat saudara – saudara kita, bahwa tawassul hanya boleh pada Nabi
saw, pendapat ini tentunya keliru, karena Umar bin Khattab ra bertawassul pada Abbas bin
Abdulmuttalib ra. Sebagaimana riwayat Shahih Bukhari diatas, bahkan Rasul saw bertawassul
pada tanah dan air liur.
Adapula pendapat mengatakan tawassul hanya boleh pada yang hidup, pendapat ini ditentang
dengan riwayat shahih berikut : “telah datang kepada Utsman bin Hanif ra seorang yang
mengadukan bahwa Utsman bin Affan ra tak memperhatikan kebutuhannya, maka
berkatalah Utsman bin Hanif ra : “berwudhulah, lalu shalatlah 2 rakaat di masjid, lalu
berdoalah dengan doa : “Wahai Allah, Aku meminta kepada-Mu, dan menghadap kepada-
Mu, Demi Nabi-Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad,
sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku
ini, maka Kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku
untukku” (doa yang sama dengan riwayat diatas)”, nanti selepas kau lakukan itu maka
ikutlah denganku kesuatu tempat.
Maka orang itu pun melakukannya lalu Utsman bin Hanif ra mengajaknya keluar masjid dan
menuju rumah Utsman bin Affan ra, lalu orang itu masuk dan sebelum ia berkata apa - apa
Utsman bin Affan lebih dulu bertanya padanya : “apa hajatmu?”, orang itu menyebutkan
hajatnya maka Utsman bin Affan ra memberinya. Dan orang itu keluar menemui Ustman bin
Hanif ra dan berkata : “kau bicara apa pada utsman bin affan sampai ia segera mengabulkan
hajatku ya..??”, maka berkata Utsman bin hanif ra : “aku tak bicara apa – apa pada Utsman
bin Affan ra tentangmu, Cuma aku menyaksikan Rasul saw mengajarkan doa itu pada
orang buta dan sembuh”. (Majmu’ Zawaid Juz 2 hal 279).
Tentunya doa ini dibaca setela wafatnya Rasul saw, dan itu diajarkan oleh Utsman bin hanif
dan dikabulkan Allah.
Ucapan : Wahai Muhammad.. dalam doa tawassul itu banyak dipungkiri oleh sebagian
saudara - saudara kita, mereka berkata kenapa memanggil orang yang sudah mati? kita
menjawabnya : sungguh kita setiap shalat mengucapkan salam pada Nabi saw yang telah
wafat : Assalamu alaika ayyuhannabiyyu… (Salam sejahtera atasmu wahai nabi……),
dan nabi saw menjawabnya, sebagaimana sabda beliau saw : “tiadalah seseorang bersalam
kepadaku, kecuali Allah mengembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya” (HR
Sunan Imam Baihaqiy Alkubra hadits No.10.050)
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan
oleh Rasulullah saw, tak pula oleh Ijma para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak
pula oleh para Tabi’in dan bahkan oleh para ulama serta Imam – Imam besar
Muhadditsin, bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat
radhiyallahu’anhum mengamalkannya.
Mereka berdoa dengan perantara atau tanpa perantara, tak ada yang
mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan mengharamkannya atau
bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya.
Tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang
tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan
tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian, justru mereka yang
membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati,
maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap
makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan
yang mati tak bisa memberi manfaat apa – apa kecuali karena Allah memuliakannya,
Bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah, berarti si hidup itu
sebanding dengan Allah??, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah??,
Tidak saudaraku.. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan
dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah swt. Yang hidup tak akan
mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah swt dan yang mati pun bukan mustahil memberi
manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah swt.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah swt atas orang yang mati adalah
kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan Kodrat Illahi dan tidak
bisa membatasi kemampuan Allah SWT. Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada
Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.
Sebagai contoh dari bertawassul, seorang pengemis datang pada seorang saudagar kaya
dan dermawan, kebetulan almarhumah istri saudagar itu adalah tetangganya, lalu saat ia
mengemis pada saudagar itu ia berkata “berilah hajat saya tuan …saya adalah tetangga dekat
amarhumah istri tuan…” maka tentunya si saudagar akan memberi lebih pada si pengemis
karena ia tetangga mendiang istrinya, Nah… bukankah hal ini mengambil manfaat dari
orang yang telah mati? Bagaimana dengan pandangan yang mengatakan orang mati tak bisa
memberi manfaat?, Jelas – jelas saudagar itu akan sangat menghormati atau mengabulkan
hajat si pengemis, atau memberinya uang lebih, karena ia menyebut nama orang yang ia
cintai walau sudah wafat.
Walaupun seandainya ia tak memberi, namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar,
lalu bagaimana dengan Arrahman Arrahiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyantun?,
istri saudagar yang telah wafat itu tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang urusan
hajat si pengemis pada si saudagar, NAMUN TENTUNYA SI PENGEMIS MENDAPAT
MANFAAT BESAR DARI ORANG YANG TELAH WAFAT, entah apa yang membuat
pemikiran saudara saudara kita menyempit hingga tak mampu mengambil permisalan mudah
seperti ini.
Saudara – saudaraku, boleh berdoa dengan tanpa perantara, boleh berdoa dengan perantara,
boleh berdoa dengan perantara orang shalih, boleh berdoa dengan perantara amal kita yang
shalih, boleh berdoa dengan perantara Nabi saw, boleh pada shalihin, boleh pada benda,
misalnya “Wahai Allah Demi kemuliaan Ka’bah”, atau “Wahai Allah Demi kemuliaan
Arafat”, dlsb, tak ada larangan mengenai ini dari Allah, tidak pula dari Rasul saw, tidak pula
dari sahabat, tidak pula dari Tabi’in, tidak pula dari Imam Imam dan muhadditsin, bahkan
sebaliknya Allah menganjurkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat mengamalkannya,
demikian hingga kini. Walillahittaufiq
Peringatan Maulid Nabi Saw
PERINGATAN MAULID NABI SAW
Ketika kita membaca kalimat di atas maka di dalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).
Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah
keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta,
mabuk - mabukkan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan
lainnya, demikian adat istiadat di seluruh dunia. Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw. Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya
• Firman Allah : “(Isa as berkata di pangkuan ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari
kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS. Maryam : 33)
• Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari
wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS. Maryam : 15)
• Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala Shahihain hadits No.4177)
• Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang - bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan di atas kepalanya, lalu iamelihat cahaya terang - benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
• Ketika Rasul saw lahir ke muka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)
• Riwayat Shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi
saw melihat cahaya yang terang - benderang hingga pandangannya menembus dan melihat
Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
• Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah
jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul
menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad
Rasulullah saw di alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada
kelahiran Nabi - Nabi sebelumnya. Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah
hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits No.1162). Dari
hadits ini sebagian saudara - saudara kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dengan puasa.
Rasul saw jelas - jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda di hadapan beliau
saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau
saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh - boleh saja..”,
namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari
kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh mudah misalnya zeyd
bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka
amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas - jelas bahwa zeyd
memahami bahwa 1 Januari adalah hari yang berbeda dari hari - hari lainnya bagi amir?
dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 Januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti
amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan
hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut - nyebut bahwa 1 Januari adalah
hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan
kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang
lebih luas dari sekedar pertanyaannya. Sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan
umroh pada 1 Januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat
bahwa boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya
pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab
: hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada
pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa di hari itu.
Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yg perhatian pada hari kelahiran beliau saw,
karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya Islam.
Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka
Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka
Abbas ra memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai Nabi
saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang - benderang, dan
langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam
tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala Shahihain hadits No.5417)
Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran Nabi saw
Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan
Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka,
Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah
karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits No.4813, Sunan
Imam Baihaqi Alkubra hadits No.13701, Syi’bul Iman No.281, Fathul Baari Almasyhur juz
11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini di bantai di alam barzakh, namun tentunya Allah
berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah
menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasul saw dengan
membebaskan budaknya.
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun
mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang
kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan
Nabi saw maka Imam - Imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah
bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh Imam - Imam dan mereka tak mengingkarinya.
Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid
Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar ra, lalu
Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini di hadapan orang yang lebih mulia
dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan
berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dengan doa : wahai Allah
bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : “betul” (Shahih Bukhari
hadits No.3040, Shahih Muslim hadits No.2485)
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana
beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa
yang dilarang adalah syair - syair yang membawa pada Ghaflah, pada keduniawian. Namun
syair - syair yang memuji Allah dan Rasul-Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw
bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak
riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk
Hassan bin Tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair - syairnya (Mustadrak
ala Shahihain hadits No.6058, Sunan Attirmidzi hadits No.2846) oleh Aisyah ra bahwa
ketika ada beberapa sahabat yang mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata :
“Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw” (Musnad
Abu Ya’la Juz 8 hal 337).
PENDAPAT PARA IMAM DAN MUHADDITS ATAS PERAYAAN MAULID
1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari Shahihain bahwa Nabi saw datang ke
Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul
saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari di tenggelamkannya Fir’aun dan Allah
menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka
bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya
perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya,
dan syukur kepada Allah bisa di dapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur,
puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan
Nabi ini? Telah berfirman Allah swt : “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN
ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA
RASUL DARI MEREKA” (QS. Al Imran : 164)
2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber-akikah untuk
dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis No.1832 dengan sanad
Shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300). Dan telah diriwayatkan bahwa
telah ber-Akikah untuknya, kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah
tak mungkin di perbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yang kedua atas
dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan
beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah untuk ummatnya, maka
sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan
mengumpulkan teman - teman dan saudara - saudara, menjamu dengan makanan - makanan
dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam
Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama :
“Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini adalah perbuatan yang di perbuat
setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan,
menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan
rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi saw.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam
kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab di perlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?,
ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua
sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi
(saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (Shahih Bukhari). maka apabila Abu
Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia
gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad
saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan
Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan-Nya dengan
sebab anugerah-Nya.
5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam
kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy :
Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab
6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
Berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan
setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah
pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid,
dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.
7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah
Dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah
pelaksanaan maulid di bulan kelahiran Nabi saw”
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah
Dengan karangan maulidnya yang terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan
maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai
semua maksud dan keinginan bagi siapa yg membacanya serta merayakannya”.
9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah
Dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata:
”Maka Allah akan menurunkan Rahmat-Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran
Nabi saw sebagai hari besar”.
10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yang
terkenal dengan Ibn Dihyah alkalbi
Dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri
Dengan maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”
12. Imam al Hafidh Ibn Katsir
Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : ”maulid ibn katsir”
13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy
Dengan maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy
Telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad
arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.
15. Imam assyakhawiy
Dengan maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi
16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi
Dengan maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy
yang terkenal dengan Ibn Diba’
Dengan maulidnya addiba’i
18. Imam Ibn Hajar Al Haitsami
Dengan maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam
19. Imam Ibrahim Baajuri
Mengarang hasiah atas maulid Ibn Hajar dengan nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar
20. Al Allamah Ali Al Qari’
Dengan maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi
21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji
Dengan maulidnya yang terkenal maulid barzanji
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani
Dengan maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad
24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy
Dengan maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’
25. Imam Ibrahim Assyaibaniy
Dengan maulid al maulid mustofa adnaani
26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy
Dengan maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”
27. Syihabuddin Al Halwani
Dengan maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif
28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati
Dengan maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar
29. Asyeikh Ali Attanthowiy
Dengan maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa
30. As syeikh Muhammad Al maghribi
Dengan maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.
Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini,
mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang maulid
sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya
menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas - jelas
meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
BERDIRI SAAT MAHAL QIYAM DALAM PEMBACAAN MAULID
Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan
Syariah Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada
kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang dianjurkan oleh Rasul
saw adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika Sa’ad bin Mu’adz ra datang maka
Rasul saw berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk tuan kalian” (Shahih Bukhari
hadits No.2878, Shahih Muslim hadits No.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.
Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang
dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya,
juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yang
adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yang
dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk, dan Imam Nawawi yang berpendapat bila
berdiri untuk penghargaan maka taka apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan
putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun adapula pendapat lain yang melarang berdiri
untuk penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala
Shahih muslim juz 12 hal 93)
Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid
itu tak ada hubungan apa - apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir
dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan
maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yang tak
bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat
mengenai berdiri penghormatan yang Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri
untuk memuliakan beliau saw.
Jauh berbeda bila kita yang berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat
dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut
risalah Nabi saw, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada
nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat
beliau saw.
Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam
Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam
Imam besar di zamannya dalam perkumpulan yang padanya di bacakan puji - pujian untuk
Nabi saw, lalu diantara syair - syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy
dan seluruh Imam - Imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukkan yang luhur
dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan.
Dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah menjadi
kesepakatan para Imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah, (berlandaskan hadist Shahih
Muslim No.1017 yang tercantum pada Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala
dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah.
Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah,
mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia
dan membawa keberkahan bagi mereka yang mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal
137)
Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig
dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yang diselingi bershalawat dan
salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yang sudah diperbolehkan
oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka
semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yang dalam ghaflah,
maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yang mengingkarinya karena jelas - jelas
merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas
dipungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena
hal ini merupakan hal yang mustahab (yang dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa
“Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yang menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.
Contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya
wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan
shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka
membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan
shalat yang wajib .
Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya
mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong,
maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat
kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh
siwak yang hukumnya sunnah.
Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah
merupakan hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak
perduli dengan Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu
pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tabligh ini adalah dengan perayaan Maulid
Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tabligh dan Dakwah serta pengenalan sejarah Sang Nabi saw serta silaturahmi.
Sebagaimana penulisan Alqur’an yang merupakan hal yang tak perlu dizaman Nabi saw,
namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yang
membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para
sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah
menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.
Hal semacam in telah di fahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat
radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin
yang awam, namun hanya sebagian saudara - saudara kita muslimin yang masih bersikeras
untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.
Walillahittaufiq
Ketika kita membaca kalimat di atas maka di dalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).
Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah
keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta,
mabuk - mabukkan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan
lainnya, demikian adat istiadat di seluruh dunia. Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw. Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya
• Firman Allah : “(Isa as berkata di pangkuan ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari
kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS. Maryam : 33)
• Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari
wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS. Maryam : 15)
• Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala Shahihain hadits No.4177)
• Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang - bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan di atas kepalanya, lalu iamelihat cahaya terang - benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
• Ketika Rasul saw lahir ke muka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)
• Riwayat Shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi
saw melihat cahaya yang terang - benderang hingga pandangannya menembus dan melihat
Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
• Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah
jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul
menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad
Rasulullah saw di alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada
kelahiran Nabi - Nabi sebelumnya. Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah
hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits No.1162). Dari
hadits ini sebagian saudara - saudara kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dengan puasa.
Rasul saw jelas - jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda di hadapan beliau
saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau
saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh - boleh saja..”,
namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari
kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh mudah misalnya zeyd
bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka
amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas - jelas bahwa zeyd
memahami bahwa 1 Januari adalah hari yang berbeda dari hari - hari lainnya bagi amir?
dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 Januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti
amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan
hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut - nyebut bahwa 1 Januari adalah
hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan
kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang
lebih luas dari sekedar pertanyaannya. Sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan
umroh pada 1 Januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat
bahwa boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya
pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab
: hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada
pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa di hari itu.
Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yg perhatian pada hari kelahiran beliau saw,
karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya Islam.
Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka
Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka
Abbas ra memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai Nabi
saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang - benderang, dan
langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam
tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala Shahihain hadits No.5417)
Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran Nabi saw
Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan
Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka,
Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah
karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits No.4813, Sunan
Imam Baihaqi Alkubra hadits No.13701, Syi’bul Iman No.281, Fathul Baari Almasyhur juz
11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini di bantai di alam barzakh, namun tentunya Allah
berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah
menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasul saw dengan
membebaskan budaknya.
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun
mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang
kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan
Nabi saw maka Imam - Imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah
bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh Imam - Imam dan mereka tak mengingkarinya.
Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid
Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar ra, lalu
Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini di hadapan orang yang lebih mulia
dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan
berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dengan doa : wahai Allah
bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : “betul” (Shahih Bukhari
hadits No.3040, Shahih Muslim hadits No.2485)
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana
beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa
yang dilarang adalah syair - syair yang membawa pada Ghaflah, pada keduniawian. Namun
syair - syair yang memuji Allah dan Rasul-Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw
bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak
riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk
Hassan bin Tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair - syairnya (Mustadrak
ala Shahihain hadits No.6058, Sunan Attirmidzi hadits No.2846) oleh Aisyah ra bahwa
ketika ada beberapa sahabat yang mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata :
“Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw” (Musnad
Abu Ya’la Juz 8 hal 337).
PENDAPAT PARA IMAM DAN MUHADDITS ATAS PERAYAAN MAULID
1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari Shahihain bahwa Nabi saw datang ke
Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul
saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari di tenggelamkannya Fir’aun dan Allah
menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka
bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya
perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya,
dan syukur kepada Allah bisa di dapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur,
puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan
Nabi ini? Telah berfirman Allah swt : “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN
ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA
RASUL DARI MEREKA” (QS. Al Imran : 164)
2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber-akikah untuk
dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis No.1832 dengan sanad
Shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300). Dan telah diriwayatkan bahwa
telah ber-Akikah untuknya, kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah
tak mungkin di perbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yang kedua atas
dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan
beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah untuk ummatnya, maka
sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan
mengumpulkan teman - teman dan saudara - saudara, menjamu dengan makanan - makanan
dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam
Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama :
“Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini adalah perbuatan yang di perbuat
setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan,
menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan
rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi saw.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam
kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab di perlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?,
ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua
sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi
(saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (Shahih Bukhari). maka apabila Abu
Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia
gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad
saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan
Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan-Nya dengan
sebab anugerah-Nya.
5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam
kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy :
Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab
6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
Berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan
setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah
pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid,
dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.
7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah
Dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah
pelaksanaan maulid di bulan kelahiran Nabi saw”
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah
Dengan karangan maulidnya yang terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan
maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai
semua maksud dan keinginan bagi siapa yg membacanya serta merayakannya”.
9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah
Dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata:
”Maka Allah akan menurunkan Rahmat-Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran
Nabi saw sebagai hari besar”.
10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yang
terkenal dengan Ibn Dihyah alkalbi
Dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri
Dengan maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”
12. Imam al Hafidh Ibn Katsir
Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : ”maulid ibn katsir”
13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy
Dengan maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy
Telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad
arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.
15. Imam assyakhawiy
Dengan maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi
16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi
Dengan maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy
yang terkenal dengan Ibn Diba’
Dengan maulidnya addiba’i
18. Imam Ibn Hajar Al Haitsami
Dengan maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam
19. Imam Ibrahim Baajuri
Mengarang hasiah atas maulid Ibn Hajar dengan nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar
20. Al Allamah Ali Al Qari’
Dengan maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi
21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji
Dengan maulidnya yang terkenal maulid barzanji
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani
Dengan maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad
24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy
Dengan maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’
25. Imam Ibrahim Assyaibaniy
Dengan maulid al maulid mustofa adnaani
26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy
Dengan maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”
27. Syihabuddin Al Halwani
Dengan maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif
28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati
Dengan maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar
29. Asyeikh Ali Attanthowiy
Dengan maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa
30. As syeikh Muhammad Al maghribi
Dengan maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.
Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini,
mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang maulid
sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya
menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas - jelas
meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
BERDIRI SAAT MAHAL QIYAM DALAM PEMBACAAN MAULID
Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan
Syariah Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada
kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang dianjurkan oleh Rasul
saw adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika Sa’ad bin Mu’adz ra datang maka
Rasul saw berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk tuan kalian” (Shahih Bukhari
hadits No.2878, Shahih Muslim hadits No.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.
Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang
dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya,
juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yang
adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yang
dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk, dan Imam Nawawi yang berpendapat bila
berdiri untuk penghargaan maka taka apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan
putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun adapula pendapat lain yang melarang berdiri
untuk penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala
Shahih muslim juz 12 hal 93)
Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid
itu tak ada hubungan apa - apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir
dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan
maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yang tak
bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat
mengenai berdiri penghormatan yang Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri
untuk memuliakan beliau saw.
Jauh berbeda bila kita yang berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat
dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut
risalah Nabi saw, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada
nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat
beliau saw.
Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam
Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam
Imam besar di zamannya dalam perkumpulan yang padanya di bacakan puji - pujian untuk
Nabi saw, lalu diantara syair - syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy
dan seluruh Imam - Imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukkan yang luhur
dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan.
Dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah menjadi
kesepakatan para Imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah, (berlandaskan hadist Shahih
Muslim No.1017 yang tercantum pada Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala
dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah.
Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah,
mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia
dan membawa keberkahan bagi mereka yang mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal
137)
Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig
dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yang diselingi bershalawat dan
salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yang sudah diperbolehkan
oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka
semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yang dalam ghaflah,
maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yang mengingkarinya karena jelas - jelas
merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas
dipungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena
hal ini merupakan hal yang mustahab (yang dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa
“Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yang menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.
Contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya
wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan
shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka
membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan
shalat yang wajib .
Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya
mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong,
maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat
kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh
siwak yang hukumnya sunnah.
Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah
merupakan hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak
perduli dengan Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu
pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tabligh ini adalah dengan perayaan Maulid
Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tabligh dan Dakwah serta pengenalan sejarah Sang Nabi saw serta silaturahmi.
Sebagaimana penulisan Alqur’an yang merupakan hal yang tak perlu dizaman Nabi saw,
namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yang
membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para
sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah
menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.
Hal semacam in telah di fahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat
radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin
yang awam, namun hanya sebagian saudara - saudara kita muslimin yang masih bersikeras
untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.
Walillahittaufiq
Langganan:
Postingan (Atom)