Habib Munzir Almusawa - Definisi Bid'ah
Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak
menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw :
مَنْ
سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْءٌ
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ
وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa membuat - buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya
dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya
dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya”
(Shahih Muslim hadits No.1017. Demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah,
Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini
menjelaskan makna Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dhalalah.
Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian
mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas Islam, maka
perbuatlah. Alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat, beliau
saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan
berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela
kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal - hal yang baru demi menjaga muslimin
lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap
akan bisa dipakai hingga akhir zaman. Dan inilah makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU
LAKUM DIINUKUM.. (dst)” “hari ini Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian,
Ku-sempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan Ku-ridhai Islam sebagai agama
2 kenalilah akidahmu 2
kalian”. (QS. Al-Maidah : 3). Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada
pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah
masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan Rasul-Nya, alangkah
sempurnanya Islam.
Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena
setelah ayat ini masih ada banyak ayat – ayat lain turun, masalah hutang dll. Berkata Para
Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih
dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini,
maka Musyrikin tidak lagi masuk Masjidil Haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik
boleh - boleh saja.
Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan
syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa - apa yang sudah diharamkan oleh
Rasul saw atau sebaliknya. Inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yang membuat –
buat hal baru yang berupa keburukan...(dst)”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka
beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan
menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada
di zaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan
membuat buat hal yang buruk (Bid’ah Dhalalah).
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja,
maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena
hadits diatas jelas – jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti
dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.
I.1.2. Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?
أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَُّه عَنْهُ قَالَ
أَرْسَلَ
إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ عِنْدَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَُّه عَنْهُ إِنَّ
عُمَرَ
أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ
بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ
بِالْقُرَّاءِ
بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ
وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ
تَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ
رَسُولُ
اللَِّه صَلَّى اللَُّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُمَرُ هَذَا وَاللَِّه
خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَُّه صَدْرِي
لِذَلِكَ
وَرَأَيْتُ فِي ذَلِكَ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدٌ قَالَ أَبُو
بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ لَا نَتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ
تَكْتُبُ
الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَِّه صَلَّى اللَُّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَِّه لَوْ
كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ
الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ
تَفْعَلُونَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَِّه صَلَّى اللَُّه
مَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ هُوَ وَاللَِّه خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو بَكْرٍ
يُرَاجِعُنِي حَتَّى .َرَحَ اللَُّه صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ لَهُ صَدْرَ
أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَُّه عَنْهُمَا فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ
“Bahwa Sungguh Zeyd bin Tsabit ra berkata : Abubakar ra mengutusku ketika terjadi
pembunuhan besar - besaran atas para sahabat (Ahlul Yamaamah), dan bersamanya
Umar bin Khattab ra, berkata Abubakar : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku
dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan
terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq
ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : “Bagaimana aku berbuat suatu
hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..??, maka Umar berkata padaku bahwa “Demi
Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku
sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan
Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau
tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan
kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh
bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung - gunung tidak seberat
perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat
sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya
bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan
dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai
mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits No.4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar Asshiddiq ra mengakui
dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan Umar”. Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu
mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya Alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu
buku, tapi terpisah - pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok,
dihafal dll. Ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah Hasanah
mengenai semua bid’ah adalah kesesatan. Diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan
shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati
berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah..
seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan.., maka beri wasiatlah kami..” maka
Rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan
dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak Afrika, sungguh diantara
kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat),
maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka
itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat – kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk
kesungguhan), dan hati - hatilah dengan hal - hal yang baru, sungguh semua yang Bid’ah
itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits No.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan
sunnah Khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru
selama itu baik dan tak melanggar syariah. Dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat
sendiri bagaimana Abubakar Asshiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan
menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul
saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman
bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat
Radhiyallahu’anhum.
Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin
melakukan bid’ah hasanah, Abubakar Asshiddiq ra di masa kekhalifahannya memerintahkan
pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya
memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik - baik Bid’ah!” (Shahih
Bukhari hadits No.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin
Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama “Mushaf Utsmaniy”, dan Ali bin Abi
Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu dan seluruh sahabat Radhiyallahu’anhum.
kenalilah akidahmu 2 5
Demikian pula hal yang dibuat - buat tanpa perintah Rasul saw adalah 2X adzan di Shalat
Jumat, tidak pernah dilakukan di masa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar
Asshiddiq ra, tidak pula di masa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan di masa Utsman
bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bukhari hadits No.873). Seluruh madzhab
mengikutinya.
Lalu siapakah yang salah dan tertuduh? Siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?
Adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna
Bid’ah?
TAMBAHAN DALAM HAL BID’AH HASANAH
Mengenai ucapan Al Hafidh Al Imam Assyaukaniy, beliau tidak melarang hal yang baru,
namun harus ada sandaran dalil secara logika atau naqli-nya, maka bila orang yang bicara
hal baru itu punya sandaran logika atau sandaran naqli-nya, maka terimalah, sebagaimana
ucapan beliau :
وهذا الحديث من قواعد الدين لأنه يندرج تحته من الأحكام ما لا يأتي عليه الحصر
وما مصرحه وأدله على إبطال ما فعله الفقهاء من تقسيم البدع إلى أقسام وتخصيص
الردببعضها بلا مخصص من عقل ولا نقل
فعليك إذا سمعت من يقول هذه بدعة حسنة بالقيام في مقام المنع مسندا له بهذه
الكلية وما يشابهها من نحو قوله صلى الله عليه وآله وسلم كل بدعة ضلالة طالبا لدليل
تخصيص تلك البدعة التي وقع النزاع في شأنها بعد الاتفاق على أنها بدعة فإن جاءك به
قبلته وإن كاع كنت قد ألقمته حجرا واسترحت من المجادلة
“Hadits – hadits ini merupakan kaidah - kaidah dasar agama karena mencakup hukum
- hukum yang tak terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan
perbuatan para fuqaha dalam pembagian Bid’ah kepada berbagai bagian dan
mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (penolakan terhadap Bid’ah yang baik)
dengan tanpa mengkhususkan (menunjukkan) hujjah dari dalil akal ataupun dalil tulisan
(Alqur’an / hadits),
Maka bila kau dengar orang berkata : “ini adalah bid’ah hasanah”, dengan kau pada
posisi ingin melarangnya, dengan bertopang pada dalil bahwa keseluruhan Bid’ah
adalah sesat dan yang semacamnya sebagaimana sabda Nabi saw “semua Bid’ah adalah
sesat” dan (kau) meminta alasan pengkhususan (secara aqli dan naqli) mengenai hal
Bid’ah yang menjadi pertentangan dalam penentuannya (apakah itu bid’ah yang baik
atau bid’ah yang sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu Bid’ah (hal baru), maka
bila ia membawa dalilnya (tentang Bid’ah hasanah) yang dikenalkannya maka terimalah,
bila ia tak bisa membawakan dalilnya (secara logika atau ayat dan hadits) maka sungguh
kau telah menaruh batu dimulutnya dan kau selesai dari perdebatan” (Naylul Awthaar
Juz 2 hal 69-70).
Jelaslah bahwa ucapan Imam Assyaukaniy menerima Bid’ah hasanah yang disertai dalil
Aqli (Aqliy = logika) atau Naqli (Naqli = dalil Alqur’an atau hadits). Bila orang yang
mengucapkan pada sesuatu itu Bid’ah hasanah namun ia TIDAK bisa mengemukakan alasan
secara logika (bahwa itu baik dan tidak melanggar syariah), atau tak ada sandaran naqli-nya
(sandaran dalil hadits atau ayat yang bisa jadi penguat) maka pernyataan tertolak. Bila ia
mampu mengemukakan dalil logikanya, atau dalil Naqli-nya maka terimalah. Jelas - jelas
beliau mengakui Bid’ah hasanah.
Berkata Imam Ibn Rajab :
جوامع الكلم التي خص بها النبي صلى الله عليه وسلم نوعان، أحدهما ما هو في
القران كقوله تعالى إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء
والمنكر والبغي. قال الحسن لم تترك هذه الاية خيرا إلا أمرت به ولا شرا إلا نهت عنه
والثاني ما هو في كلامه صلى الله عليه وسلم وهو منتشر موجود في السنن المأثورة عنه
صلى الله عليه وسلم انتهى
“Seluruh kalimat yang dikhususkan pada Nabi saw ada 2 macam, yang pertama adalah
Alqur’an sebagaimana firman-Nya swt : “Sungguh Allah telah memerintahkan kalian
berbuat adil dan kebaikan, dan menyambung hubungan dengan kaum kerabat, dan
melarang kepada keburukan dan kemungkaran dan kejahatan” berkata Alhasan bahwa
ayat ini tidak menyisakan satu kebaikan pun kecuali sudah diperintahkan melakukannya,
dan tiada suatu keburukan pun kecuali sudah dilarang melakukannya. Maka yang kedua
adalah hadits beliau saw yang tersebar dalam semua riwayat yang teriwayatkan dari beliau
saw. (Jaamiul uluum walhikam Imam Ibn Rajab juz 2 hal 4), dan kalimat ini dijelaskan
dan dicantumkan pula pada Tuhfatul ahwadziy).
Jelas sudah segala hal yang baik apakah sudah ada dimasa Rasul saw ataupun belum, sudah
diperintahkan dan dibolehkan oleh Allah swt, apakah itu berupa penjilidan Alqur’an, ilmu
nahwu, ilmu sharaf, ilmu mustalahul hadits, maulid, Alqur’an digital, dlsb. Dan semua hal
buruk walau belum ada dimasa Nabi saw sudah dilarang Allah swt, seperti narkotika, ganja,
dlsb.
I.1.3. Bid’ah Dhalalah.
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan
Bid’ah Dhalalah, dan Bid’ah Dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafian sunnah, penolakan
ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin. Nah…diantaranya adalah penolakan
atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan
oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas – jelas
memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah
Khulafa’urrasyidin. Bagaimana sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan bid’ah hasanah,
bagaimana sunnah khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan bid’ah hasanah, maka penolakkan
atas hal inilah yang merupakan bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan
membid’ahkan kitab Alqur’an dan kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok agama
Islam karena kedua kitab tersebut (Alqur’an dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw
untuk membukukannya dalam satu kitab masing - masing, melainkan hal itu merupakan
ijma’ atau kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan
setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dll. Inipun tak pernah ada perintah
Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya,
namun para Tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw dan memberikan klasifikasi hukum
hadits menurut para periwayatnya. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, Sharaf,
dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah
perbuatan bid’ah namun Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas Sahabat, tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu disebut dalam Alqur’an bahwa
mereka para sahabat itu diridhai Allah, namun tak ada dalam ayat atau hadits Rasul saw
memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan
para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut dan seluruh
Madzhab mengikutinya.
Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil hadits di atas, lalu muncul pula kini Alqur’an
yang di kasetkan, di CD kan, program Alqur’an di handphone, Alqur’an yang diterjemahkan,
ini semua adalah Bid’ah hasanah.
Bid’ah yang baik, yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan
adanya bid’ah hasanah di atas, maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Alqur’an,
untuk selalu membaca Alqur’an, bahkan untuk menghafal Alqur’an dan tidak ada yang
memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur ke belakang sejarah Islam, bila Alqur’an tidak dibukukan
oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ?
Alqur’an masih bertebaran di tembok - tembok, di kulit onta, di hafalan para Sahabat ra
yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu - ribu versi Alqur’an di zaman
sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing -
masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Alqur’an dan hancurlah Islam. Namun
dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Alqur’an secara utuh dan
dengan adanya bid’ah hasanah ini pula kita masih mengenal hadits – hadits Rasulullah
saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah
membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal - hal baru yang
berupa kebaikan (Bid’ah Hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang
hal – hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah Dhalalah).
Saudara - saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin
pertama ini, ketahuilah ucapan - ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar
Asshiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan
aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”. Lalu berkata pula Zeyd bin Haritsah ra
: ”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat
oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan,
hingga ia pun (Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) “sampai Allah menjernihkan dadaku
dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.
Maka kuhimbau saudara - saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima
hal – hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar Asshiddiq ra, hati Umar
bin Khattab ra, hati Zeyd bin Haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah
swt.
Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali
hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum
setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah. Dan Rasul saw sudah
mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan
perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham (yang maksudnya berpeganglah
erat – erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka).
Semoga Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat
dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib
kw dan seluruh sahabat.. amiin
I.1.4. Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi 2, yaitu Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah
Madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang
tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin
Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy
juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata)
bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk - buruk permasalahan adalah
hal yang baru, dan semua bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha
wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal – hal yang tidak sejalan dengan
Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum,
sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat
buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat
buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang
mengikutinya” (Shahih Muslim hadits No.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan
mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Hujjatul Islam Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah
(Imam Nawawi)
Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam
Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang
sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat – buat hal baru yang buruk dalam
Islam, maka baginya dosanya”. Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan
- kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada
hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah,
dan semua yang bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang
buruk dan bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi : “Bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu bid’ah
yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah
yang haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil – dalil pada ucapan – ucapan
yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila
dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku - buku ilmu
syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan Bid’ah yang mubah adalah
bermacam – macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas
diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum,
sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa “inilah sebaik - sebaiknya
bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
4. Al Hafidh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun Makhsush”, (sesuatu yang
umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala
sesuatu” (QS. Al-Ahqaf : 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat
: “Sungguh telah Ku-pastikan ketentuan-Ku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan
manusia keseluruhannya” (QS. Assajdah : 13), dan pada kenyataannya bukan semua
manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh
musyrikin dan orang dhalim) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari
ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh
Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Kemudian bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman
para Muhaddits dan para Imam maka mestilah kita berhati - hati darimanakah ilmu mereka?
Berdasarkan apa pemahaman mereka? atau seorang yang disebut imam padahal ia tak
mencapai derajat Hafidh atau Muhaddits? atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad,
hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa -
fatwa para Imam? (Walillahittaufiq)
Rabu, 11 Juni 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar